A. Biografi Penulis
Chairil Anwar
dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan
Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya masih mrmpunyai
pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya bercerai
dan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Setelah perceraian itu, Chairil
mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saai itu, ia baru lulus SMA.
Chairil masuk Hollands
Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah
Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.
Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak satu pun puisi
awalnya yang ditemukan. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai
bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia mengisi waktu luangnya
dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama, seperti Rainer M.
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du
Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak
langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
B. Latar Belakang Puisi
Aku adalah sebuah puisi
karya Chairil Anwar, karya ini adalah karyanya yang paling terkenal dan juga
salah satu puisi paling terkemuka dari Angkatan '45. Aku memiliki tema
pemberontakan dari segala bentuk penindasan. Penulisnya ingin "hidup
seribu tahun lagi", namun ia menyadari keterbatasan usianya, dan kalau
ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun untuk meratapinya.
C. Analisis Makna
Aku
Karya : Chairil Anwar
Kalau sampai
waktuku
‘Ku mau tak
seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu
sedan itu
Aku ini binatang
jalang
Dari kumpulannya
terbuang
Biar peluru
menembus kulitku
Aku tetap
meradang menerjang
Luka dan bisa
kubawa berlari Berlari
Hingga hilang
pedih peri
Dan aku akan
lebih tidak perduli
Aku mau hidup
seribu tahun lagi
Dalam baris pertama “kalau sampai waktuku” Si “aku”
membuang semua kekhawatirannya tentang suatu kematian. Dia tidak lagi perduli
kepada siapa saja yang yang merayunya. Tidak juga kekasihnya.
Si “aku” memesankan kepada orang-orang terdekatnya
supaya supaya melepasnya, jika saatnya telah tiba menghadap sang khalik. Bahkan
dia menyebut-nyebut dirinya sebagai binatang jalang, Sebuah simbol kehinaan.
Si “aku” berterus terang tentang apa yang telah di
deritanya, tapi dia tetap mencoba untuk menanggungnya sendiri. Karena jika
saatnya tiba, semua perih akan hilang.
Si “aku” ingin hidup seribu tahun lagi. Di sini
Chairil telah menjelma si “aku”. Walaupun raganya telah tiada, tapi dia ingin
karyanya tetap hidup selamanya.